Sinergisasi Tri Pusat Pendidikan Agama untuk Membentuk Akhlak Anak
Oleh Hafida Dewi Kusuma
Kondisi generasi muda Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Banyak kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia, seperti mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, seks bebas, tawuran, dan sebagainya. Survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang dilakukan terhadap 4.500 remaja di dua belas kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa 93% remaja pernah berciuman, 62,7% pernah berhubungan badan, dan 21% remaja telah melakukan aborsi. Perilaku remaja Indonesia yang tidak terpuji ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya pemahaman nilai-nilai agama dalam diri remaja tersebut. Nilai–nilai agama merupakan faktor penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak yang memiliki pemahaman nilai agama yang baik cenderung memiliki kepribadian yang baik pula.
Pemahaman nilai-nilai agama pada anak diperoleh dari proses pendidikan agama. Selama ini masyarakat memandang bahwa tanggung jawab pendidikan agama hanya dibebankan pada sekolah saja. Namun sebenarnya dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama dalam membentuk kepribadian anak, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah (sekolah formal).
Seorang pakar psikologi, Anthony Scioli, Ph.D., meneliti tentang spiritualitas seseorang. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat empat tahap seseorang mengenal tuhan. Namun, disini saya hanya menyoroti dua tahap awal seseorang mengenal tuhan. Pada tahap pertama, yaitu saat seseorang lahir sampai dengan berumur 3 tahun, anak mengenal agama dari orang tuanya. Dalam tahap ini, peran keluarga sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Pada tahap kedua, yaitu saat seseorang berusia 6 tahun sampai dengan masa pubertas. Disini anak mulai terpengaruh dengan lingkungan di luar keluarga, mulai mengenal tradisi keagamaan, datang ke tempat ibadah, dan mengikuti pendidikan agama di luar keluarga.
Lingkungan pertama dalam pendidikan agama adalah keluarga. Gilbert Highest, seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki oleh anak sebagian besar terbentuk dari pendidikan keluarga. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Selain itu, di tempat inilah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya sebelum ia menerima pendidikan dari lingkungan lainnya. Dalam Islam, tanggung jawab orang tua untuk mendidik anaknya juga tercantum dalam sebuah hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abdurrazak Said bin Mansur yang berbunyi, “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik”. Hadist tersebut mengisyaratkan bahwa orang tua wajib mengajarkan budi pekerti pada anaknya, terutama tentang nilai-nilai agama. Namun, dalam kenyataannya tidak semua orang tua dapat menjalankan kewajibannya untuk mendidik anaknya. Sebagian besar orang tua kini sibuk dengan pekerjaannya sehingga hanya memiliki waktu yang sedikit untuk berinteraksi dengan anaknya. Selain itu, ada beberapa orang tua yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup untuk diajarkan pada anaknya.
Lingkungan kedua dalam pendidikan anak adalah sekolah atau pendidikan formal. Sekolah memiliki peran untuk melanjutkan pendidikan agama yang didapat pada lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Tanggung jawab sekolah untuk mengajarkan agama pada anak tercantum dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam pasal 3 peraturan tersebut menyatakan bahwa “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama".
Sayangnya, dalam praktiknya orang tua belum bisa mengandalkan sekolah formal sebagai tempat pendidikan agama. Mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan selama dua jam per minggu dipandang belum cukup untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam waktu dua jam per minggu, guru agama belum dapat memastikan apakah siswanya dapat memahami nilai-nilai agama yang diajarkannya. Selain itu, selama ini pendidikan agama hanya dipandang melalui aspek kognitif atau dalam bentuk nilai di raport saja sehingga hanya menitikberatkan pada hal-hal bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaan dan pengamalan nilai-nilai agama.
Lingkungan pendidikan ketiga adalah masyarakat atau dalam hal ini berupa pendidikan nonformal. Menurut D. Sudjana, pendidikan nonformal memiliki tiga fungsi yaitu sebagai tambahan, pelengkap, dan pengganti. Pendidikan nonformal sebagai tambahan dengan memberikan kesempatan pada mereka yang telah memanfaatkan pendidikan formal tetapi dalam tempat dan waktu yang berbeda. Fungsi yang kedua, yaitu sebagai pelengkap, pendidikan nonformal melengkapi kemampuan peserta didik dengan memberikan pengalaman yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan sekolah. Sedangkan fungsi terakhir yaitu sebagai tambahan, pendidikan nonformal menyediakan kesempatan belajar bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak memperoleh kesempatan untuk memasuki sekolah.
Dalam hal pendidikan agama Islam tersedia pendidikan nonformal berupa Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). TPA memiliki fungsi sebagai tambahan dan pelengkap pendidikan agama yang ada di lingkungan keluarga dan sekolah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian UPI Bandung mengidentifikasi kemampuan membaca Al Qur’an pada siswa SMP yang mengikuti TPA dan yang tidak mengikuti TPA. Pada penelitian tersebut, siswa yang masuk SMP terdiri dari mereka yang sudah pintar membaca Al-Qur’an (25%) dan tidak bisa membaca Al-Qur’an (75%). Dari wawancara dengan siswa kelas 1, ternyata kemampuan membaca Al-Qur’an bukan dari hasil belajar di SD (sekolah formal), melainkan sebagai hasil belajar dari TKA/TPA. Lulusan SMP yang pintar membaca Al-Qur’an mencapai 30% (25% belajar di TKA/TPA sebelum memasuki SMP dan 5% memasuki TPA setelah masuk SMP). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TPA dapat menjadi solusi untuk menunjang pendidikan agama bagi anak.
Tri pusat pendidikan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam membentuk akhlak anak dengan menanamkan nilai-nilai agama. Kerjasama atau sinergisasi antar lingkungan pendidikan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kontradiksi antara nilai-nilai yang diajarkan di sekolah dan nilai-nilai yang diikuti di keluarga atau masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar anak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam berperilaku sehingga mereka dapat terhindar dari pengaruh negatif lingkungan luar dan memiliki pengetahuan agama serta akhlak yang baik.
REFERENSI
http://www.psychologytoday.com/blog/hope-today/201302/keys-building-hope-in-children-part-5-spirituality
Supriadi, Udin dan Munawar Rahmat. 2001. Percepatan Ketrampilan Membaca Al-Qur'an di Sekolah melalui Metode Bil-Hikmah. Bandung : Lembaga Penelitian UPI.
http://www.sarjanaku.com/2012/04/tanggung-jawab-keluarga-sekolah-dan.html
http://lektur.kemenag.go.id/content/view/38/61/
http://blog.umy.ac.id/syrama/2012/11/17/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/
http://usepsaepudin66.wordpress.com/kurikulum-pendidikan-agama-islam-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/
Daradjat, Zakiah. 1993. Tinjauan Anak Dalam Keluarga: Tinjauan Psikologi Agama, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Cet. I. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Rahmawati, Tina. 2007. Kemitraan Sekolah dan Keluarga dalam Pendidikan Moral bagi Anak. Yogyakarta : Dinamika Pendidikan No. 1/ Th. XIV/ Mei 2007. FIP UNY.
Latifah, Siti Aini. 2012. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP Plus Assalaam Bandung. Jurnal Tarbawi Vol. 1 No. 1 Maret 2012. Hlm 11-19.
Kondisi generasi muda Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Banyak kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia, seperti mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, seks bebas, tawuran, dan sebagainya. Survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang dilakukan terhadap 4.500 remaja di dua belas kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa 93% remaja pernah berciuman, 62,7% pernah berhubungan badan, dan 21% remaja telah melakukan aborsi. Perilaku remaja Indonesia yang tidak terpuji ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya pemahaman nilai-nilai agama dalam diri remaja tersebut. Nilai–nilai agama merupakan faktor penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak yang memiliki pemahaman nilai agama yang baik cenderung memiliki kepribadian yang baik pula.
Pemahaman nilai-nilai agama pada anak diperoleh dari proses pendidikan agama. Selama ini masyarakat memandang bahwa tanggung jawab pendidikan agama hanya dibebankan pada sekolah saja. Namun sebenarnya dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama dalam membentuk kepribadian anak, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah (sekolah formal).
Seorang pakar psikologi, Anthony Scioli, Ph.D., meneliti tentang spiritualitas seseorang. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat empat tahap seseorang mengenal tuhan. Namun, disini saya hanya menyoroti dua tahap awal seseorang mengenal tuhan. Pada tahap pertama, yaitu saat seseorang lahir sampai dengan berumur 3 tahun, anak mengenal agama dari orang tuanya. Dalam tahap ini, peran keluarga sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Pada tahap kedua, yaitu saat seseorang berusia 6 tahun sampai dengan masa pubertas. Disini anak mulai terpengaruh dengan lingkungan di luar keluarga, mulai mengenal tradisi keagamaan, datang ke tempat ibadah, dan mengikuti pendidikan agama di luar keluarga.
Lingkungan pertama dalam pendidikan agama adalah keluarga. Gilbert Highest, seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki oleh anak sebagian besar terbentuk dari pendidikan keluarga. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Selain itu, di tempat inilah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya sebelum ia menerima pendidikan dari lingkungan lainnya. Dalam Islam, tanggung jawab orang tua untuk mendidik anaknya juga tercantum dalam sebuah hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abdurrazak Said bin Mansur yang berbunyi, “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik”. Hadist tersebut mengisyaratkan bahwa orang tua wajib mengajarkan budi pekerti pada anaknya, terutama tentang nilai-nilai agama. Namun, dalam kenyataannya tidak semua orang tua dapat menjalankan kewajibannya untuk mendidik anaknya. Sebagian besar orang tua kini sibuk dengan pekerjaannya sehingga hanya memiliki waktu yang sedikit untuk berinteraksi dengan anaknya. Selain itu, ada beberapa orang tua yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup untuk diajarkan pada anaknya.
Lingkungan kedua dalam pendidikan anak adalah sekolah atau pendidikan formal. Sekolah memiliki peran untuk melanjutkan pendidikan agama yang didapat pada lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Tanggung jawab sekolah untuk mengajarkan agama pada anak tercantum dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam pasal 3 peraturan tersebut menyatakan bahwa “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama".
Sayangnya, dalam praktiknya orang tua belum bisa mengandalkan sekolah formal sebagai tempat pendidikan agama. Mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan selama dua jam per minggu dipandang belum cukup untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam waktu dua jam per minggu, guru agama belum dapat memastikan apakah siswanya dapat memahami nilai-nilai agama yang diajarkannya. Selain itu, selama ini pendidikan agama hanya dipandang melalui aspek kognitif atau dalam bentuk nilai di raport saja sehingga hanya menitikberatkan pada hal-hal bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaan dan pengamalan nilai-nilai agama.
Lingkungan pendidikan ketiga adalah masyarakat atau dalam hal ini berupa pendidikan nonformal. Menurut D. Sudjana, pendidikan nonformal memiliki tiga fungsi yaitu sebagai tambahan, pelengkap, dan pengganti. Pendidikan nonformal sebagai tambahan dengan memberikan kesempatan pada mereka yang telah memanfaatkan pendidikan formal tetapi dalam tempat dan waktu yang berbeda. Fungsi yang kedua, yaitu sebagai pelengkap, pendidikan nonformal melengkapi kemampuan peserta didik dengan memberikan pengalaman yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan sekolah. Sedangkan fungsi terakhir yaitu sebagai tambahan, pendidikan nonformal menyediakan kesempatan belajar bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak memperoleh kesempatan untuk memasuki sekolah.
Dalam hal pendidikan agama Islam tersedia pendidikan nonformal berupa Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). TPA memiliki fungsi sebagai tambahan dan pelengkap pendidikan agama yang ada di lingkungan keluarga dan sekolah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian UPI Bandung mengidentifikasi kemampuan membaca Al Qur’an pada siswa SMP yang mengikuti TPA dan yang tidak mengikuti TPA. Pada penelitian tersebut, siswa yang masuk SMP terdiri dari mereka yang sudah pintar membaca Al-Qur’an (25%) dan tidak bisa membaca Al-Qur’an (75%). Dari wawancara dengan siswa kelas 1, ternyata kemampuan membaca Al-Qur’an bukan dari hasil belajar di SD (sekolah formal), melainkan sebagai hasil belajar dari TKA/TPA. Lulusan SMP yang pintar membaca Al-Qur’an mencapai 30% (25% belajar di TKA/TPA sebelum memasuki SMP dan 5% memasuki TPA setelah masuk SMP). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TPA dapat menjadi solusi untuk menunjang pendidikan agama bagi anak.
Tri pusat pendidikan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam membentuk akhlak anak dengan menanamkan nilai-nilai agama. Kerjasama atau sinergisasi antar lingkungan pendidikan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kontradiksi antara nilai-nilai yang diajarkan di sekolah dan nilai-nilai yang diikuti di keluarga atau masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar anak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam berperilaku sehingga mereka dapat terhindar dari pengaruh negatif lingkungan luar dan memiliki pengetahuan agama serta akhlak yang baik.
REFERENSI
http://www.psychologytoday.com/blog/hope-today/201302/keys-building-hope-in-children-part-5-spirituality
Supriadi, Udin dan Munawar Rahmat. 2001. Percepatan Ketrampilan Membaca Al-Qur'an di Sekolah melalui Metode Bil-Hikmah. Bandung : Lembaga Penelitian UPI.
http://www.sarjanaku.com/2012/04/tanggung-jawab-keluarga-sekolah-dan.html
http://lektur.kemenag.go.id/content/view/38/61/
http://blog.umy.ac.id/syrama/2012/11/17/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/
http://usepsaepudin66.wordpress.com/kurikulum-pendidikan-agama-islam-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/
Daradjat, Zakiah. 1993. Tinjauan Anak Dalam Keluarga: Tinjauan Psikologi Agama, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Cet. I. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Rahmawati, Tina. 2007. Kemitraan Sekolah dan Keluarga dalam Pendidikan Moral bagi Anak. Yogyakarta : Dinamika Pendidikan No. 1/ Th. XIV/ Mei 2007. FIP UNY.
Latifah, Siti Aini. 2012. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP Plus Assalaam Bandung. Jurnal Tarbawi Vol. 1 No. 1 Maret 2012. Hlm 11-19.