Kenakalan Remaja: Salah Siapa?
oleh : Goei Diana S
Saat-saat ini, kasus kenakalan remaja telah menjadi hal yang umum terjadi di negara kita. Mulai dari penggunaan narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, seks bebas, ngebut-ngebutan, dan banyak hal lain yang dilakukan oleh remaja di sekitar kita. Berdasar hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, dikatakan bahwa jumlah remaja di Indonesia mencapai 30% dari total jumlah penduduk. Melihat kondisi ini, bisa dikatakan bahwa kekuatan Indonesia dibidang sumber daya manusia cukup besar. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk muda yang potensial tergolong besar untuk turut serta dalam pembangunan bangsa. Namun, bagaimanakah kondisi remaja di Indonesia saat ini? Berdasar sumber penulis di bkkbn.go.id (website Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), kondisi remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Pernikahan di usia remaja semakin bertambah jumlahnya, adanya sex pra nikah dan kehamilan yang tidak diinginkan, tingkat aborsi sebesar 2,4 juta jiwa dimana 700-800ribunya dilakukan oleh remaja, kasus HIV/ AIDS dimana 70% dari 52000 orang terinfeksi adalah usia remaja, serta maraknya penggunaan miras dan narkoba di kalangan remaja. Jika kita kaji, apakah yang sesungguhnya disebut dengan kenakalan remaja?
Kenakalan remaja diartikan dari istilah Juvenile Deliquency. Juvenile berarti young person, dan Deliquent berarti doing wrong. Siapakah yang dimaksud dengan orang muda dalam pengertian Juvenile? Ternyata, pengertian orang muda dalam berbagai negara dapat berbeda-beda. Banyak negara yang menyebutkan bahwa orang muda (dalam bahasa hukum : anak) adalah seseorang yang berumur dibawah 16, 17, dan 18 tahun. Namun, di beberapa negara lain menyebutkan bahwa anak harus berumur dibawah 21 tahun. Berdasar data pada tabel 1, kita dapat menyimpulkan bahwa peraturan di Indonesia menetapkan anak haruslah berumur di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, yang akan dibahas dalam kaitan kenakalan remaja pada artikel ini adalah anak di usia pubertas hingga umur 18 tahun. Sedang kenakalan yang diambil dari istilah Deliquent ini merujuk pada pengertian perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifisifasikan sebagai tindak kejahatan (Dr. Fuad Hasan). Atau berdasar pengertian ini, kenakalan dalam pembahasan ini dibatasi pada pengertian perbuatan kenakalan yang dikuatirkan akan mengakibatkan si anak nantinya mempunyai kecenderungan yang mendalam untuk berbuat tindak pidana (Drs. B Simandjutak SH).
Pengadilan Anak
Kenakalan yang dilakukan anak dapat melanggar norma masyarakat ataupun hukum yang berlaku dalam suatu negara. Berita heboh terjadi saat seorang anak di Bekasi membunuh temannya karena korban berhutang Rp 1000 kepada pelaku (detikcom 27 April 2013). Membunuh jelas merupakan tindakan yang melanggar hukum, dan merupakan salah satu bentuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Apakah tindakan seperti ini mendapat sanksi hukum? Ya, ternyata kenakalan remaja memiliki aturan khusus dalam tatanan hukum Indonesia. Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Pengadilan Anak, bahkan telah muncul UU RI nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang pengadilan anak telah membagi kategori anak menjadi dua: usia 8-12 tahun yang hanya diberikan tindakan seperti dikembalikan kepada orang tua, ditempatkan di organisasi sosial, atau bahkan diserahkan kepada negara. Sedang untuk usia lebih dari 12 tahun hingga 18 tahun dapat diberikan hukuman pidana. Namun, yang berbeda dari penanganan terhadap kenakalan anak dibanding sanksi hukum lainnya adalah tindakan yang diberikan kepada anak memprioritaskan kepentingan terbaik untuk anak tersebut. Dalam memberikan putusan (jika sampai ke tahap hukuman pidana), maka Hakim tidak serta merta mempertimbangkan dari segi hukum, tapi juga faktor-faktor lain, seperti lingkungan sekitar tempat anak tersebut bertumbuh, status sosial anak, keadaan keluarga, dan lain lain. Semua hal ini diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Sebab-sebab Kenakalan Remaja
Lalu, mengapakah remaja melakukan hal-hal yang dinilai sebagai kenakalan oleh masyarakat? Berdasarkan buku Latar Belakang Kenakalan Remaja karangan Drs. B. Simandjutak S.H., penyebab kenakalan remaja dapat disebabkan dari 2 faktor: internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud yaitu : nilai-nilai yang dianut, karakteristik kepribadian, dan kondisi emosi remaja yang labil. Sedang, faktor eksternal yang dimaksud adalah lingkungan rumah/ keluarga, sekolah, media massa dan keadaan sosial ekonomi dari sang anak. Namun, karena faktor eksternal lebih sulit dikendalikan, maka dalam artikel kali ini akan lebih dibahas mengenai faktor internal.
1. Nilai-nilai yang dianut
Tentu dengan seorang remaja menganut nilai-nilai yang baik, akan menekan kenakalan yang ia lakukan. Nilai-nilai disini adalah semua nilai, mulai dari nilai agama, nilai sosial, nilai hukum, dll. Secara psikologis dikatakan bahwa nilai yang dianut seseorang akan tercermin dari tingkah lakunya. Tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh sikapnya dalam pemenuhan kebutuhan. Ketika remaja gagal dalam memenuhi kebutuhannya, maka ia akan melakukan kenakalan. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai yang baik sejak dini akan mencegah seseorang melakukan kenakalan di usia remajanya.
2. Karakteristik kepribadian
Seseorang yang memiliki karakteristik kepribadian yang baik akan cenderung tidak melakukan kenakalan remaja. Karakteristik kepribadian ini dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal (seperti lingkungan, pergaulan, dll).
3. Emosi remaja yang masih labil
Kondisi emosi remaja dikatakan masih labil (belum stabil) sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan kenakalan. Remaja yang berada dalam fase pencarian jati diri, ingin diterima oleh teman sepergaulan, keinginan menjadi seperti sosok idola, membuat remaja melakukan kenakalan-kenakalan yang dapat menganggu ketentraman masyarakat.
Saat-saat ini, kasus kenakalan remaja telah menjadi hal yang umum terjadi di negara kita. Mulai dari penggunaan narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, seks bebas, ngebut-ngebutan, dan banyak hal lain yang dilakukan oleh remaja di sekitar kita. Berdasar hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, dikatakan bahwa jumlah remaja di Indonesia mencapai 30% dari total jumlah penduduk. Melihat kondisi ini, bisa dikatakan bahwa kekuatan Indonesia dibidang sumber daya manusia cukup besar. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk muda yang potensial tergolong besar untuk turut serta dalam pembangunan bangsa. Namun, bagaimanakah kondisi remaja di Indonesia saat ini? Berdasar sumber penulis di bkkbn.go.id (website Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), kondisi remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Pernikahan di usia remaja semakin bertambah jumlahnya, adanya sex pra nikah dan kehamilan yang tidak diinginkan, tingkat aborsi sebesar 2,4 juta jiwa dimana 700-800ribunya dilakukan oleh remaja, kasus HIV/ AIDS dimana 70% dari 52000 orang terinfeksi adalah usia remaja, serta maraknya penggunaan miras dan narkoba di kalangan remaja. Jika kita kaji, apakah yang sesungguhnya disebut dengan kenakalan remaja?
Kenakalan remaja diartikan dari istilah Juvenile Deliquency. Juvenile berarti young person, dan Deliquent berarti doing wrong. Siapakah yang dimaksud dengan orang muda dalam pengertian Juvenile? Ternyata, pengertian orang muda dalam berbagai negara dapat berbeda-beda. Banyak negara yang menyebutkan bahwa orang muda (dalam bahasa hukum : anak) adalah seseorang yang berumur dibawah 16, 17, dan 18 tahun. Namun, di beberapa negara lain menyebutkan bahwa anak harus berumur dibawah 21 tahun. Berdasar data pada tabel 1, kita dapat menyimpulkan bahwa peraturan di Indonesia menetapkan anak haruslah berumur di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, yang akan dibahas dalam kaitan kenakalan remaja pada artikel ini adalah anak di usia pubertas hingga umur 18 tahun. Sedang kenakalan yang diambil dari istilah Deliquent ini merujuk pada pengertian perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifisifasikan sebagai tindak kejahatan (Dr. Fuad Hasan). Atau berdasar pengertian ini, kenakalan dalam pembahasan ini dibatasi pada pengertian perbuatan kenakalan yang dikuatirkan akan mengakibatkan si anak nantinya mempunyai kecenderungan yang mendalam untuk berbuat tindak pidana (Drs. B Simandjutak SH).
Pengadilan Anak
Kenakalan yang dilakukan anak dapat melanggar norma masyarakat ataupun hukum yang berlaku dalam suatu negara. Berita heboh terjadi saat seorang anak di Bekasi membunuh temannya karena korban berhutang Rp 1000 kepada pelaku (detikcom 27 April 2013). Membunuh jelas merupakan tindakan yang melanggar hukum, dan merupakan salah satu bentuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Apakah tindakan seperti ini mendapat sanksi hukum? Ya, ternyata kenakalan remaja memiliki aturan khusus dalam tatanan hukum Indonesia. Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Pengadilan Anak, bahkan telah muncul UU RI nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang pengadilan anak telah membagi kategori anak menjadi dua: usia 8-12 tahun yang hanya diberikan tindakan seperti dikembalikan kepada orang tua, ditempatkan di organisasi sosial, atau bahkan diserahkan kepada negara. Sedang untuk usia lebih dari 12 tahun hingga 18 tahun dapat diberikan hukuman pidana. Namun, yang berbeda dari penanganan terhadap kenakalan anak dibanding sanksi hukum lainnya adalah tindakan yang diberikan kepada anak memprioritaskan kepentingan terbaik untuk anak tersebut. Dalam memberikan putusan (jika sampai ke tahap hukuman pidana), maka Hakim tidak serta merta mempertimbangkan dari segi hukum, tapi juga faktor-faktor lain, seperti lingkungan sekitar tempat anak tersebut bertumbuh, status sosial anak, keadaan keluarga, dan lain lain. Semua hal ini diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Sebab-sebab Kenakalan Remaja
Lalu, mengapakah remaja melakukan hal-hal yang dinilai sebagai kenakalan oleh masyarakat? Berdasarkan buku Latar Belakang Kenakalan Remaja karangan Drs. B. Simandjutak S.H., penyebab kenakalan remaja dapat disebabkan dari 2 faktor: internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud yaitu : nilai-nilai yang dianut, karakteristik kepribadian, dan kondisi emosi remaja yang labil. Sedang, faktor eksternal yang dimaksud adalah lingkungan rumah/ keluarga, sekolah, media massa dan keadaan sosial ekonomi dari sang anak. Namun, karena faktor eksternal lebih sulit dikendalikan, maka dalam artikel kali ini akan lebih dibahas mengenai faktor internal.
1. Nilai-nilai yang dianut
Tentu dengan seorang remaja menganut nilai-nilai yang baik, akan menekan kenakalan yang ia lakukan. Nilai-nilai disini adalah semua nilai, mulai dari nilai agama, nilai sosial, nilai hukum, dll. Secara psikologis dikatakan bahwa nilai yang dianut seseorang akan tercermin dari tingkah lakunya. Tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh sikapnya dalam pemenuhan kebutuhan. Ketika remaja gagal dalam memenuhi kebutuhannya, maka ia akan melakukan kenakalan. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai yang baik sejak dini akan mencegah seseorang melakukan kenakalan di usia remajanya.
2. Karakteristik kepribadian
Seseorang yang memiliki karakteristik kepribadian yang baik akan cenderung tidak melakukan kenakalan remaja. Karakteristik kepribadian ini dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal (seperti lingkungan, pergaulan, dll).
3. Emosi remaja yang masih labil
Kondisi emosi remaja dikatakan masih labil (belum stabil) sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan kenakalan. Remaja yang berada dalam fase pencarian jati diri, ingin diterima oleh teman sepergaulan, keinginan menjadi seperti sosok idola, membuat remaja melakukan kenakalan-kenakalan yang dapat menganggu ketentraman masyarakat.
Sumber: hukumonline.com
Daftar Pustaka
bkkbn.go.id
UU RI nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Latar Belakang Kenakalan Remaja: Etiologi Juvenile Deliquency Drs. B. Simandjutak S.H.
Juvenile Deliquency : An Integrated Approach Burfeind, James W. and Bartusch, Dawn Jeglum
Daftar Pustaka
bkkbn.go.id
UU RI nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Latar Belakang Kenakalan Remaja: Etiologi Juvenile Deliquency Drs. B. Simandjutak S.H.
Juvenile Deliquency : An Integrated Approach Burfeind, James W. and Bartusch, Dawn Jeglum